You are currently viewing Saat Evidence-Based Medicine (EBM) Jadi Konsensus: Antara Ilmu, Bisnis, dan Nurani

Saat Evidence-Based Medicine (EBM) Jadi Konsensus: Antara Ilmu, Bisnis, dan Nurani

0Shares

Evidence Based Medicine (EBM) – Kamu pernah nggak, merasa bingung saat baca berita kesehatan?
Hari ini kopi disebut menyehatkan, besok dibilang berbahaya.
Hari ini kolesterol dianggap musuh utama, besok katanya bukan penyebab penyakit jantung.
Lalu kamu berpikir, “Sebenarnya yang benar yang mana, sih?”

Di sinilah cerita tentang Evidence-Based Medicine (EBM) dimulai.
Istilah ini kedengarannya keren banget — “pengobatan berbasis bukti ilmiah.”
Tapi… apa jadinya kalau “bukti” itu ternyata lahir dari ruang rapat, bukan dari ruang laboratorium?

1. Ketika ‘bukti ilmiah’ lahir dari konsensus, bukan kebenaran

Secara teori, EBM berdiri di atas tiga pilar:

  1. Penelitian ilmiah yang valid,
  2. Keahlian klinis dokter,
  3. Nilai dan kondisi pasien.

Namun kenyataannya seperti yang diungkapkan dalam diskusi di Group WhatsApp Indonesian Society of Lifestyle & Interdisciplinary Medicine oleh dr. Yosef S. Sugi, M.Biomed, SpPD dikatakan bahwa ada “bukti ilmiah” atau EBM yang akhirnya ditetapkan lewat konsensus panel — sekelompok orang (kadang berafiliasi dengan industri farmasi) yang memutuskan apa yang dianggap standar medis.

Misalnya nih, batas normal kolesterol, kadar gula, atau tekanan darah — sering berubah seiring munculnya obat baru di pasaran. Kebetulan banget, ya?

Salah satu contoh paling terkenal datang dari National Cholesterol Education Program (NCEP) di AS.
Tahun 2004, panel ini menurunkan batas “kolesterol tinggi.”
Akibatnya?
Jutaan orang yang tadinya sehat mendadak “butuh obat statin.”
Belakangan, terungkap bahwa 8 dari 9 anggota panel ternyata punya hubungan finansial dengan produsen statin (Brown et al., JAMA, 2004).

Nah, kalau “bukti ilmiah” bisa dipengaruhi kepentingan seperti ini, masih bisa disebut murni science nggak?

Baca Juga :  Penyebab Kanker: Kemoterapi Bisa Bangunkan Zombie Kanker? Ini Fakta Ilmiahnya!

⚖️ 2. Ilmu bisa benar, tapi sistem bisa bias

Kita nggak sedang menyalahkan sainsnya, ya.
Sains tetap berharga, tapi sistem pendukungnya yang sering bias.

Banyak systematic review dan guideline medis yang ternyata didanai sponsor.
Peneliti ditekan untuk “menemukan hasil positif,” atau hasil negatifnya disembunyikan agar tidak merusak citra produk.

Studi dari John Ioannidis (PLoS Medicine, 2005) bahkan menyebut,

“Lebih dari 50% hasil riset medis besar tidak bisa direplikasi.”

Artinya, kalau diuji ulang, hasilnya bisa beda jauh.
Kenapa? Karena tekanan sponsor, konflik kepentingan, dan sistem publikasi yang lebih mementingkan sensasi ketimbang akurasi.

EBM yang seharusnya netral akhirnya bisa jadi Evidence-Based Marketing.

3. QULBI View: Kembali ke akar keseimbangan

Di Griya Sehat QULBI, kami nggak menolak sains modern.
Kami justru ingin meluruskannya — agar kembali berpihak pada keseimbangan dan fitrah tubuh.

Karena kebenaran sejati bukan hasil voting manusia, tapi refleksi dari hikmah ciptaan Allah Ta’ala.
Kalau tubuh diciptakan dalam keseimbangan, maka logis dong kalau pengobatan pun harus meniru prinsip yang sama?

Makanya, kami di QULBI Method menekankan Root-Cause Healing — mencari akar masalah, bukan sekadar mengatur angka laboratorium.
Dan semua itu kami jalankan lewat tiga fondasi utama:

  • QULBI Check-Up: memahami struktur dan pola hidup pasien secara holistik,
  • FASCIA Hack: menyeimbangkan tubuh lewat sentuhan, gerak, dan teknik puntir balik,
  • QULBI Habits: membimbing pasien membangun kebiasaan hidup sehat dari dalam.

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Functional Medicine, tapi punya sentuhan spiritual yang lebih dalam — karena kesembuhan sejati hanya terjadi bi’idznillah.

4. Jadi, bagaimana sikap bijaknya?

Kita nggak harus jadi anti-sains.
Tapi jangan juga menelan mentah semua yang diklaim “berbasis bukti.”
Kuncinya adalah: kritis tapi solutif.

Baca Juga :  Ketika Fascia Tersumbat, Imun Terhambat: Waktunya Meretas dengan FASCIA Hack

Kritis dalam menyaring informasi,
dan solutif dalam mencari alternatif yang logis, ilmiah, dan sesuai sunnatullah.

QULBI nggak sedang melawan dunia medis modern.
Kami cuma mengingatkan: jangan biarkan “bukti” menggantikan “hikmah.”
Karena evidence bisa berubah, tapi truth (kebenaran) selalu selaras dengan keseimbangan yang Allah Ta’ala ciptakan.

“Sudah saatnya kita tidak hanya percaya pada data, tapi juga paham maknanya. Karena kesehatan bukan sekadar angka — tapi keseimbangan antara ilmu, nurani, dan izin Ilahi.”

Referensi:

  • Brown et al., JAMA, 2004. “Conflicts of Interest in the National Cholesterol Education Program.”
  • Ioannidis, J. (2005). “Why Most Published Research Findings Are False.” PLoS Medicine.
  • Sackett DL et al., BMJ, 1996. “Evidence based medicine: what it is and what it isn’t.”
  • Diskusi di Group Indonesian Society of Lifestyle & Interdisciplinary Medicine oleh dr. Yosef S. Sugi, M.Biomed, SpPD
  • Syaifullah, E. QULBI Method: Solusi Nyeri Holistik 2025, Website Griya Sehat QULBI – www.qulbi.com

 

0Shares

Griya Sehat QULBI

Spesialis Terapi Nyeri Bekasi

Tinggalkan Balasan