You are currently viewing Kisah Dari Galileo ke Semmelweis, Hingga Kita Hari Ini: Saat Sains Berhenti Bertanya dan Jadi Dogma

Kisah Dari Galileo ke Semmelweis, Hingga Kita Hari Ini: Saat Sains Berhenti Bertanya dan Jadi Dogma

0Shares

Kakak tau nggak, dalam sejarah — orang-orang yang hari ini kita puja sebagai pahlawan sains, dulunya malah dianggap sesat, gila, bahkan berbahaya.

Galileo Galilei hampir dihukum mati gara-gara bilang bumi bukan pusat semesta

Bayangin kak… Ada masanya bumi dianggap pusat segalanya, manusia jadi poros semesta, dan semua orang sepakat — bukan karena bukti, tapi karena takut beda dari suara mayoritas.

Lalu munculah Galileo.
Dengan teleskopnya yang sederhana, dia bilang, “Hei, kita ternyata cuma salah satu planet yang ngorbit matahari.”
Dan apa balasannya? Hampir dihukum mati.
Bukan karena argumennya salah, tapi karena dianggap mengguncang tatanan lama yang sudah nyaman.

Semmelweis dan Sabun yang Menghina Dokter

Ratusan tahun setelah Galileo, di lorong rumah sakit Wina, Ignaz Semmelweis kebingungan.
Kenapa begitu banyak ibu-ibu meninggal setelah melahirkan?
Ternyata karena dokter habis memeriksa mayat langsung menolong persalinan — tanpa cuci tangan.
Semmelweis bilang, “Coba deh cuci tangan pakai larutan kapur klorin sebelum pegang pasien.”
Hasilnya? Angka kematian turun drastis.
Tapi kolega-koleganya malah marah. “Jadi kau mau bilang tangan dokter kotor?!”
Semmelweis akhirnya dipecat, diejek habis-habisan, lalu meninggal tragis di rumah sakit jiwa.
Ironis, hari ini cuci tangan jadi standar paling dasar di semua rumah sakit dunia.

Barry Marshall: Minum Bakteri Demi Kebenaran

Lanjut ke tahun 1980-an.
Saat itu, penyakit maag dan tukak lambung dianggap akibat stres, makanan pedas, atau terlalu banyak asam.
Sampai Barry Marshall — dokter Australia — curiga biang keroknya bakteri Helicobacter pylori.
Tapi hipotesanya ditertawakan.
Akhirnya dia nekad minum sendiri kultur bakteri itu. Lambungnya luka parah, lalu dia sembuhkan pakai antibiotik.
Baru setelah itu dunia medis mengakui: tukak lambung kebanyakan disebabkan infeksi, bukan pikiran. Awalnya dicibir, akhirnya malah dapat Nobel.

Ilmu Bukan Kitab Wahyu

Makanya kak, kisah dari Galileo ke Semmelweis sampai Barry Marshall ini relevan banget buat zaman kita hari ini. Sekarang, kita hidup di zaman internet, AI, meta-analisis, big data. Tapi kok kadang kita juga jatuh ke lubang yang sama?

Kadang, tanpa sadar, kita mulai memperlakukan ilmu — yang sejatinya sarana untuk mencari kebenaran — seperti dogma suci yang tak boleh disentuh, tak boleh diuji, tak boleh ditanya kenapa.

Ilmu pengetahuan malah dijaga mati-matian kayak agama baru, seolah siapa yang mengembangkan dituduh Bid’ah, harus bertaubat kembali ke jalan yang lurus..

Padahal kan ilmu dunia itu bukan kitab wahyu. Ilmu dunia itu harus terus bergerak, terus belajar dari kesalahan. Kalau berhenti bertanya, berhenti menguji, berhenti meninjau ulang, bukankah dia sudah berubah — dari sains menjadi dogma?

Baca Juga :  From ZERO to HERO: Memahami Konsep Nyeri/Sakit, Sehat, dan Sejahtera ala QULBI

Ilmu dunia akan selalu siap diuji secara ilmiah, selalu terbuka untuk ditinjau ulang, supaya makin mendekat ke kebenaran. Kalau kita menutup pintu kritik, alergi sama istilah baru, atau takut pakai pendekatan ilmiah dari mana pun asalnya — bukankah kita justru sedang mengulang kesalahan orang-orang dulu yang menolak teleskop Galileo, mencemooh antiseptik Semmelweis, dan menertawakan bakteri Barry Marshall?

Jangan sampai, hanya karena sudah merasa cukup paham, kita kehilangan sikap rendah hati dalam belajar. Karena ilmu itu bukan puncak. Dia perjalanan panjang, yang mestinya ditempuh bareng-bareng — dengan hati lapang, akal terbuka, dan niat yang selalu kembali ke tujuan paling mulia: bermanfaat untuk sesama.

Ilmu Dunia Bergerak, Ilmu Agama Tetap

Tapi kak, beda cerita kalau urusan agama.
Kalau ilmu dunia kita pakai akal, observasi, eksperimen — ilmu agama kita ukur dengan ketaatan pada wahyu.
Standarnya jelas:
➡️ Al-Qur’an
➡️ As-Sunnah
➡️ dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan orang-orang yang meniti jalan mereka sampai hari ini.
Allah Ta’ala sudah sampaikan dengan tegas banget:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
(QS. Al-Ahzab: 36)

🚫 Jangan Tempatkan Ilmu Dunia Seperti Ilmu Agama

Nah ini juga penting banget kak.
Jangan sampai ilmu dunia seperti kesehatan, teknik, ekonomi — kita tempatkan seperti ilmu agama yang sifatnya mutlak, final, dan nggak boleh diubah.

Karena ilmu dunia itu relatif, berkembang, berubah sesuai bukti & zaman.
Sementara ilmu agama sudah sempurna, final, nggak bisa ditambah atau dikurangi.

Jadi jangan kebalik ya kak — ilmu dunia dijadikan mutlak, sementara agama malah ditawar-tawar pakai logika sempit.

Baca Juga :  Al-Qur’an sebagai Obat Fisik dan Jiwa: Kebenaran Ilahi yang Kini Terbukti Ilmiah

Pakai Istilah Asing Bukan Bid’ah: Ini Soal Memperluas Manfaat, Bukan Mengubah Akar

Kadang ada sebagian orang yang menuduh kita Bid’ah karena mengotori kemurnian satu keilmuan terapi, hanya gara-gara kita pakai istilah asing.
Padahal, dalam dunia sains, itu hal yang wajar banget — pakai istilah universal justru supaya prinsipnya bisa dipahami lintas bangsa, lintas disiplin.

Contoh kecilnya begini:
Kita bilang “fascia” saat menjelaskan konsep daging, yaitu seluruh jaringan lunak selain tulang di tubuh manusia. Bukan berarti kita meninggalkan istilah keilmuan terapi itu sendiri. Kita hanya memakai bahasa yang dimengerti ilmuwan internasional. Biar ketika mereka membaca atau mendengar, langsung paham konteksnya tanpa perlu menerka-nerka.

Justru inilah langkah strategis.
Memakai istilah ilmiah yang memudahkan pemahaman global, supaya metode keilmuan kita diakui lebih luas, dipercaya, lalu makin banyak orang merasakan manfaatnya.
Ini bukan keluar jalur — ini justru cara cerdas berdakwah di bidang kesehatan.
Memperkenalkan khazanah anak bangsa ke dunia, tanpa sedikit pun mengubah akar keilmuannya.

Bukankah kalau cara berpikir kita sempit, malah bikin keilmuan ini mandek di situ-situ saja?
Takutnya nanti, ilmu terapi kita cuma eksklusif di lingkaran sendiri.
Padahal niat awal lahirnya ilmu ini adalah jalan amal, jalan manfaat, supaya sebanyak-banyaknya manusia terbantu. Sesuai visi besarnya: Berkontribusi Positif Bagi Peradaban Kesehatan Dunia.

Penutup

Kebenaran sains hari ini belum tentu kebenaran esok hari.
Tapi rendah hati, mau belajar, saling menghormati, dan penuh kasih sayang, itu nggak akan pernah ketinggalan zaman.

Semoga Allah Ta’ala selalu jaga kita di atas tauhid, sunnah, dan cinta kepada Rasulullah ﷺ serta para sahabatnya.
Karena setelah semua jurnal, protokol, algoritma, statistik selesai — yang paling ngerti rasa sakitmu, tubuhmu, dan doa yang kamu bisikkan malam-malam…
ya cuma kamu sendiri.
Dan Allah Ta’ala, yang lebih dekat daripada urat leher kita.

Referensi :

  • Bill Bryson, A Short History of Nearly Everything
  • The BMJ, “The Ignaz Semmelweis story”, 2015
  • NobelPrize.org, Barry Marshall & Robin Warren, Nobel 2005
  • Syaifullah, E. (2025). QULBI Method: FASCIA Hack sebagai Solusi Nyeri Holistik. Griya Sehat QULBI.
    www.qulbi.com
0Shares

Griya Sehat QULBI

Spesialis Terapi Nyeri Bekasi

Tinggalkan Balasan