Ketika Allah Ta’ala Mempekerjakan Kita, Bukan Orang Lain
Pernah gak kamu kepikiran, kenapa Allah Ta’ala kasih kamu kemampuan, rezeki waktu, dan kesempatan untuk bantu orang lain lewat profesi sebagai dokter, terapis atau praktisi kesehatan holistik? Kenapa bukan orang lain? Kenapa kamu yang Allah Ta’ala pilih?
Ternyata, ini bukan kebetulan, kak. Dalam kajian rutin kitab Riyadhus Shalihin di Rabu pagi ini, pada ‘Bab 48. Ancaman Mengganggu, Menganiaya Orang Shalih & Orang-orang Miskin’ Ustadz Nuzul dzikri hafizhahullah saat membahas tafsir QS Ad Dhuha ayat 9-10, menjelaskan bahwa segala kebaikan yang kita lakukan kepada anak yatim dan fakir miskin, memelihara mereka, memberikan makan, membantu dan menyenangkan hati mereka merupakan salah satu amal shalih yang telah Allah Ta’ala mudahkan bagi kita. Allah Ta’ala telah pilih dan tetapkan kita bisa melakukan amal shalih tersebut. Kenapa bukan orang lain? Karena Allah Ta’ala menginginkan kebaikan bagi diri kita dengan ‘menggunakan atau mempekerjakan’ kita melalui amal shalih tersebut sampai kita diwafatkan-Nya berdasarkan hadits yang luar biasa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya.”
Para sahabat bertanya: “Bagaimana Allah mempekerjakannya, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Allah akan memberikan petunjuk untuk beramal shalih sebelum meninggal.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dll)
Masya Allah… ternyata segala amal shalih yang kita lakukan; sholat, puasa, menuntut ilmu agama, menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan Allah Ta’ala serta amal shalih dalam hubungan sosial kita dengan manusia seperti merawat anak yatim, menolong fakir miskin dan semua hal yang memberikan kebermanfaatan bagi orang lain termasuk membantu ikhtiar kesembuhan orang sakit bahkan edukasi masyarakat soal gaya hidup sehat — itu bukan karena kita hebat. Tapi karena Allah Ta’ala sedang mempekerjakan kita! Allah Ta’ala yang memilih kita untuk menjadi jalan kebaikan bagi kesehatan umat sampai kita diwafatkan-Nya.
Kesehatan Holistik: Ladang Amal di Tengah Gempuran Gaya Hidup Tak Sehat
Kita hidup di zaman serba instan. Makanan ultra processed, gaya hidup sedentary, stress berkepanjangan, dan pola pikir konsumtif bikin makin banyak orang sakit — secara fisik, mental, dan spiritual.
Tapi justru di tengah kondisi itulah Allah Ta’ala hadirkan kamu. Ya, kamu para terapis, para dokter, para praktisi kesehatan holistik yang nggak cuma kejar ‘dunia’, tapi benar-benar peduli.
Peduli bahwa masyarakat butuh solusi sejati. Bukan hanya penanganan gejala dengan segudang obat dan tindakan medis yang kadang justru memperparah akar masalah.
Kamu adalah bagian dari solusi. Kamu sedang Allah Ta’ala tugaskan untuk menyadarkan umat tentang pentingnya gaya hidup sehat, makanan yang baik, gerakan yang cukup, tidur yang berkualitas, dan tentu saja hubungan yang baik dengan Allah Ta’ala.
Profesi Tabib: Profesi Mulia Sejak Zaman Ulama Salaf
Dan tahu gak kak, bahwa profesi ini — menjadi dokter, tabib, terapis, atau ahli pengobatan — punya posisi yang sangat tinggi dalam Islam. Imam Syafi’i rahimahullah sampai berkata:
“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu pengobatan, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan:
“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fikh (fikih akbar: aqidah, fikih ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu pengobatan.”
Lihat? Ilmu pengobatan menempati posisi kedua setelah ilmu agama. Bukan karena prestise, tapi karena ia menyelamatkan nyawa dan memperbaiki kualitas hidup manusia untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Imam Syafi’i juga mengingatkan:
“Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada tabib yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.”
Artinya, umat butuh dua pilar: ulama dan tabib. Ulama untuk menyembuhkan ruh dan akidah, sedangkan Tabib untuk menjaga jasad dan kesehatan.
Sayangnya, kata beliau rahimahullah juga:
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu (ilmu pengobatan) dan menyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”
Sedih gak sih? Maka sudah saatnya kita bangkit, belajar sungguh-sungguh, dan ambil peran kembali!
Jangan Asal Jadi Terapis, Waspadai Ancaman Rasulullah!
Tapi hati-hati juga ya kak. Jadi praktisi kesehatan itu bukan untuk profesi selingan atau main-main. Kalau tidak punya ilmu dan asal coba-coba, bisa kena ancaman Rasulullah:
“Siapapun yang mencoba-coba mengobati orang, padahal ia tidak dikenal ahli pengobatan, maka ia wajib bertanggung jawab (atas kerusakan yang terjadi akibat tindakannya).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Ibnu Rusyd menegaskan:
“Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa bila ia bukan seorang ahli pengobatan, maka ia wajib menanggung kerusakan akibat tindakannya karena ia telah bertindak melampaui batas.” (Bidayatul Mujtahid 2/418)
Makanya, ayo terus belajar, terus perbaiki skill, jangan puas cuma dengan sertifikat. Karena kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Ta’ala atas setiap tindakan kita kepada Klien.
Karena itu, yuk kita bangkit! Asah terus ilmu, jaga adab, perkuat niat lillahi ta’ala. Semoga Allah Ta’ala jauhkan kita dari golongan terapis yang berlagak bisa, padahal ilmu minim. Aamiin
Ukur Diri dan Pahami Peran
Sebagai praktisi holistik, kita juga harus tahu batas kemampuan. Kita harus bisa membedakan: mana keluhan yang bisa kita tangani, dan mana yang harus dirujuk ke tenaga medis atau rumah sakit.
Saat pasien dalam kondisi darurat atau akut—seperti sesak napas hebat, pingsan, luka berat, muntah darah, atau gejala yang bisa mengancam nyawa—maka tindakan medis adalah jalan terbaik. Kita tidak anti obat. Kita tidak anti operasi. Keduanya sangat dibutuhkan dalam situasi gawat darurat.
Tugas kita sebagai praktisi holistik lebih banyak pada kasus kronis: nyeri lama, gangguan metabolik, gangguan pencernaan fungsional, dan penyakit akibat gaya hidup. Di sinilah peran kita besar—mencari akar masalah dan memperbaikinya dengan pendekatan yang lebih menyeluruh.
Jadi bukan soal menyaingi rumah sakit atau menolak dunia medis. Tapi saling melengkapi. Karena kita semua punya tujuan yang sama: menyelamatkan nyawa, menjaga kesehatan, dan membantu umat untuk hidup lebih baik.
Kesimpulan: Kita Terpilih, Maka Bersyukurlah dan Beramal-lah!
Kak, menjadi praktisi kesehatan holistik adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita. Allah Ta’ala sedang mempekerjakan kita untuk berbuat baik. Maka jadikan setiap tindakan terapi, setiap konsultasi, setiap edukasi sebagai ibadah.
Selain untuk pahala kita di Yaumil Akhir nanti, juga untuk menjalankan amanah dari-Nya. Untuk jadi jawaban atas doa-doa orang-orang yang sedang sakit dan ikhtiar mencari jalan keluar. Biidznillah
Semoga kita wafat dalam keadaan masih memegang tugas mulia ini. Masih di jalan ikhtiar menyembuhkan. Masih dalam proyek kebaikan yang Allah Ta’ala tetapkan. Dan semoga kita semua husnul khotimah serta surga menjadi balasan dari tugas indah ini. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.
Referensi :
- Video kajian rutin Riyadhus Shalihin Ustadz Nuzul Dzikri hafidzahullah https://www.youtube.com/watch?v=Ty3pTQ0QKuY
- https://muslimafiyah.com/sudahkah-allah-mempekerjakan-anda.html
- https://muslimafiyah.com/imam-syafii-ilmu-kedokteran-yang-paling-berharga-setelah-ilmu-agama.html
- Postingan Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri hafidzahullah https://www.facebook.com/share/p/18vVUTizFa/
- Syaifullah, E. (2025). QULBI Method: Solusi Nyeri Holistik. Griya Sehat QULBI.
www.qulbi.com