Fenomena Matrifagi WA Qulbi 0856-9268-9993 – Pelajaran Cinta & Connecting dari Dunia Hewan untuk Kita
Bayangin kak, ada seekor ibu kelabang (atau laba-laba) yang setelah anak-anaknya menetas… dirinya sendiri yang jadi makanan pertama mereka.
Kok bisa? Kenapa tega banget?
Ternyata ini bukan soal tega, tapi soal cinta — cinta dalam bentuk paling mentah dan ekstrem yang pernah ada di alam. Fenomena ini disebut Matrifagi. Dari kata mater (ibu) dan phagein (memakan), artinya secara harfiah: anak-anak memakan ibunya sendiri.
Tapi tenang dulu… ini bukan kisah horor. Justru ini adalah kisah tentang pengorbanan paling total dari seorang ibu dalam dunia hewan.
—
Kenapa Ibu Rela Dimakan?
Dalam spesies tertentu seperti laba-laba Stegodyphus, kalajengking, bahkan beberapa kelabang, si induk secara biologis “siap mati” begitu anaknya menetas. Selama masa awal itu, anak-anak belum bisa berburu atau mencari makan sendiri. Nah, tubuh ibunya sudah siap menjadi “bekal hidup” agar anak-anaknya bertahan hidup dan tumbuh kuat.
Si ibu tidak melawan. Bahkan ia pasrah dan diam, menunggu sampai tubuhnya habis dilahap oleh darah dagingnya sendiri.
Ini bukan kelemahan, ini kekuatan. Bukan ketidaktahuan, tapi justru desain cinta yang dirancang sejak awal oleh Sang Pencipta.
—
Apa Hubungannya Sama Kita, Manusia?
Memang manusia nggak mengalami matrifagi. Tapi coba deh pikir lagi…
Bukankah sejak dalam kandungan, kita sudah ‘memakan’ ibu kita?
Nutrisi dari darahnya, kalsium dari tulangnya, bahkan energi dari tubuhnya kita serap demi bisa hidup.
Setelah lahir? Masih lanjut: ASI, pelukan, tenaga, waktu, dan cinta.
Kita nggak makan tubuhnya secara fisik, tapi secara simbolik… kita tumbuh dari pengorbanan total yang bahkan kadang nggak disadari oleh ibu kita sendiri.
—
Connecting: Menyambungkan Hati, Menumbuhkan Nurani
Di QULBI Habits, salah satu pondasi hidup sehat bukan cuma makanan dan olahraga. Tapi juga hubungan (Connecting) — baik secara vertikal kepada Allah Ta’ala maupun horizontal kepada sesama manusia.
Dan hubungan anak–ibu adalah salah satu bentuk connecting terdalam yang kita punya.
Kalau seekor kelabang aja bisa memberikan seluruh tubuhnya untuk anaknya,
lalu bagaimana cara kita membalas cinta ibu?
Connecting di QULBI bukan cuma soal silaturahmi atau basa-basi sosial. Tapi tentang menyadari dan menyambung kembali makna pengorbanan, lalu menjadikannya alasan untuk menjadi pribadi yang lebih seimbang, lebih lembut, dan lebih bersyukur.
—
Aplikasi Nyata Connecting dari Kisah Matrifagi
Kisah ini bisa menginspirasi kakak dan siapapun untuk:
1. Mengingat kembali peran ibu — apa yang sudah dikorbankan dalam diam dan tangisnya.
2. Minta maaf dan berterima kasih, bahkan jika ibu sudah tiada: doakan, wakafkan, sedekahkan atas namanya.
3. Lakukan “connecting habit” harian: menelepon orang tua, menulis surat cinta untuk pasangan, peluk anak sambil ucap “terima kasih udah hadir di hidupku.”
4. Perbaiki hubungan yang renggang, karena sesungguhnya energi sakit hati juga menyumbat fascia spiritual kita.
—
Penutup: Belajar dari Alam, Hidupkan QALBU
Matrifagi bukan cuma fenomena aneh di dunia hewan. Tapi metafora cinta dan connecting yang sangat dalam.
Jika kelabang saja bisa merelakan tubuhnya sebagai bentuk pengorbanan…
Apakah kita juga siap mengorbankan sedikit ego, waktu, atau gengsi — untuk menyambung hati dengan orang-orang tercinta?
Connecting bukan soal siapa yang benar. Tapi siapa yang paling ingin menyambung.
Referensi:
- Schwartz, J. M. (2020). Self-sacrifice and offspring survival in arthropods: Insights from matriphagy. Journal of Evolutionary Biology.
- QULBI Method – Connecting Habits. www.qulbi.com/habits